Rabu, 26 Desember 2012

Mengungkap Sosok Syech Jangkung (Saridin)

Mengungkap Sosok Saridin (
Syech Jangkung) ketika Kecil
Sangat Nakal SIAPA sebenarnya Saridin itu?
Untuk menjawab pertanyaan
tersebut, warga Pati dan
sekitarnya mungkin bisa membaca
buku Babad Tanah Jawa yang
hidup sekitar awal abad ke-16. Sebab, menurut cerita tutur
tinular yang hingga sekarang
masih diyakini kebenarannya oleh
masyarakat setempat, dia
disebut-sebut putra salah
seorang Wali Sanga, yaitu Sunan Muria dari istri bernama Dewi
Samaran. Siapa wanita itu dan mengapa
seorang bayi laki-laki bernama
Saridin harus dilarung ke kali?
Konon cerita tutur tinular itulah
yang akhirnya menjadi pakem dan
diangkat dalam cerita terpopuler grup ketoprak di Pati, Sri Kencono.
Cerita babad itu menyebutkan,
bayi tersebut memang bukan
darah daging Sang Sunan dengan
istrinya, Dewi Samaran.
Terlepas sejauh mana kebenaran cerita itu, dalam waktu perjalanan
cukup panjang muncul tokoh
Branjung di Desa Miyono yang
menyelamatkan dan merawat bayi
Saridin hingga beranjak dewasa
dan mengakuinya sebagai saudaranya. Cerita pun merebak.
Ketika masa mudanya, Saridin
memang suka hidup mblayang
(berpetualang) sampai bertemu
dengan Syeh Malaya yang dia akui
sebagai guru sejati. Syeh Malaya itu tak lain adalah
Sunan Kalijaga. Kembali ke
Miyono, Saridin disebutkan telah
menikah dengan seorang wanita
yang hingga sekarang masyarakat
lebih mengenal dengan sebutan "Mbokne (ibunya) Momok” dan dari hasil
perkawinan tersebut lahir
seorang anak laki-laki yang diberi
nama Momok.
Sampai pada suatu ketika antara
Saridin dan Branjung harus bagi waris atas satu-satunya pohon
durian yang tumbuh dan sedang
berbuah lebat. Bagi waris
tersebut menghasilkan
kesepakatan, Saridin berhak
mendapatkan buah durian yang jatuh pada malam hari, dan
Branjung dapat buah durian yang
jatuh pada siang hari.
Kiasan
Semua itu jika dicermati hanyalah
sebuah kiasan karena cerita tutur tinular itu pun melebar pada satu
muara tentang ketidak jujuran
Branjung terhadap ibunya Momok.
Sebab, pada suatu malam Saridin
memergoki sosok bayangan
seekor macan sedang makan durian yang jatuh.
Dengan sigap, sosok bayangan itu
berhasil dilumpuhkan
menggunakan tombak. Akan tetapi,
setelah tubuh binatang buas itu
tergolek dalam keadaan tak bernyawa, berubah wujud menjadi
sosok tubuh seseorang yang tak
lain adalah Branjung.
Untuk menghindari cerita tutur
tinular agar tidak vulgar, yang
disebut pohon durian satu batang atau duren sauwit yang menjadi
nama salah satu desa di
Kecamatan Kayen, Duren sauwit,
sebenarnya adalah ibunya Momok,
tetapi oleh Branjung justru
dijahili. Terbunuhnya Branjung membuat
Saridin berurusan dengan
penguasa Kadipaten Pati. Adipati
Pati waktu itu adalah Wasis Joyo
Kusumo yang harus
memberlakukan penegakan hukum dengan keputusan menghukum
Saridin karena dinyatakan
terbukti bersalah telah membunuh
Branjung.
Meskipun dalam pembelaan
Saridin berulang kali menegaskan, yang dibunuh bukan seorang
manusia tetapi seekor macan,
fakta yang terungkap membuktikan
bahwa yang meninggal adalah
Branjung akibat ditombak Saridin.
Untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya, dia harus menjalani
hukuman yang telah diputuskan
oleh penguasa Pati.
Pulang
Sebagai murid Sunan Kalijaga
yang tentu mempunyai kelebihan dan didorong rasa tak bersalah,
kepada penguasa Pati dia
menyatakan telah punya istri dan
anak. Karena itu, dia ingin pulang
untuk menengok mereka. Ulahnya Menjengkelkan Sunan
Kalijaga ONTRAN - ontran Saridin di
perguruan Kudus tidak hanya
menjengkelkan para santri yang
merasa diri senior, tetapi juga
merepotkan Sunan Kudus. Sebagai
murid baru dalam bidang agama, orang Miyono itu lebih pintar
ketimbang para santri lain.
Belum lagi soal kemampuan dalam
ilmu kasepuhan. Hal itu membuat
dia harus menghadapi persoalan
tersendiri di perguruan tersebut. Dan itulah dia tunjukkan ketika
beradu argumentasi dengan sang
guru soal air dan ikan.
Untuk menguji kewaskitaan
Saridin, Sunan Kudus bertanya,
“Apakah setiap air pasti ada ikannya?” Saridin dengan ringan
menjawab, “Ada, Kanjeng Sunan”.
Mendengar jawaban itu, sang guru
memerintah seorang murid
memetik buah kelapa dari pohon di
halaman. Buah kelapa itu dipecah. Ternyata kebenaran jawaban
Saridin terbukti. Dalam buah
kelapa itu memang ada sejumlah
ikan. Karena itulah Sunan Kudus
atau Djafar Sodiq sebagai guru
tersenyum simpul. Akan tetapi murid lain
menganggap Saridin lancang dan
pamer kepintaran. Karena itu, lain
hari ketika bertugas mengisi bak
mandi dan tempat wudu, para
santri mengerjai dia. Para santri mempergunakan semua ember
untuk mengambil air.
Saridin tidak enak hati. Karena
ketika para santri yang mendapat
giliran mengisi bak air, termasuk
dia, sibuk bertugas, dia menganggur karena tak kebagian
ember. Dia meminjam ember
kepada seorang santri.
Namun apa jawab santri itu?
”Kalau mau bekerja, itu kan ada
keranjang.” Dasar Saridin. Keranjang itu dia ambil untuk
mengangkut air. Dalam waktu
sekejap bak mandi dan tempat
wudu itu penuh air. Santri lain pun
hanya bengong.
Dalam WC Cerita soal kejadian itu dalam
sekejap sudah diterima Sunan
Kudus. Demi menjaga kewibawaan
dan keberlangsungan belajar para
santri, sang guru menganggap dia
salah. Dia pun sepantasnya dihukum.
Sunan Kudus pun meminta Saridin
meninggalkan perguruan Kudus
dan tak boleh lagi menginjakkan
kaki di bumi Kudus. Vonis itu
membuat Saridin kembali berulah. Dia unjuk kebolehan.
Tak tanggung-tanggung, dia masuk
ke lubang WC dan berdiam diri di
atas tumpukan tinja. Pagi-pagi
ketika ada seorang wanita di
lingkungan perguruan buang hajat, Saridin berulah. Dia memainkan
bunga kantil, yang dia bawa masuk
ke lubang WC, ke bagian paling
pribadi wanita itu.
Karena terkejut, perempuan itu
menjerit. Jeritan itu hingga menggegerkan perguruan.
Setelah sumber permasalahan
dicari, ternyata itu ulah Saridin.
Begitu keluar dari lubang WC, dia
dikeroyok para santri yang tak
menyukainya. Dia berupaya menyelamatkan diri. Namun para
santri mengejar ke mana pun dia
bersembunyi.
Lagi-lagi dia menjadi buronan.
Selagi berkeluh kesah, menyesali
diri, dia bertemu kembali dengan sang guru sejati, Syekh Malaya.
Sang guru menyatakan Saridin
terlalu jumawa dan pamer
kelebihan. Untuk menebus
kesalahan dan membersihkan diri
dari sifat itu, dia harus bertapa mengambang (mengapung) di
Laut Jawa.
Padahal, dia tak bisa berenang.
Syekh Malaya pun berlaku bijak.
Dua buah kelapa dia ikat sebagai
alat bantu untuk menopang tubuh Saridin agar tak tenggelam.
Dalam cerita tutur-tinular
disebutkan, setelah berhari-hari
bertapa di laut dan hanyut
terbawa ombak akhirnya dia
terdampar di Palembang. Cerita tidak berhenti di situ. Karena,
dalam petualangan berikutnya,
Saridin disebut-sebut sampai ke
Timur Tengah.
Lulang Kebo Landoh Tak Tembus
Senjata ATAS jasanya menumpas agul-
agul siluman Alas Roban, Saridin
mendapat hadiah dari penguasa
Mataram, Sultan Agung, untuk
mempersunting kakak
perempuannya, Retno Jinoli. Akan tetapi, wanita itu
menyandang derita sebagai bahu
lawean. Maksudnya, lelaki yang
menjadikannya sebagai istri
setelah berhubungan badan pasti
meninggal. Dia harus berhadapan dengan
siluman ular Alas Roban yang
merasuk ke dalam diri Retno
Jinoli. Wanita trah Keraton
Mataram itu resmi menjadi istri
sah Saridin dan diboyong ke Miyono berkumpul dengan ibunya Momok.
Saridin membuka perguruan di
Miyono yang dalam waktu relatif
singkat tersebar luas sampai di
Kudus dan sekitarnya. Kendati demikian, Saridin bersama anak
lelakinya, Momok, beserta murid-
muridnya, tetap bercocok tanam.
Sebagai tenaga bantu untuk
membajak sawah, Momok minta
dibelikan seekor kerbau milik seorang warga Dukuh Landoh.
Meski kerbau itu boleh dibilang
tidak lagi muda umurnya,
tenaganya sangat diperlukan
sehingga hampir tak pernah
berhenti dipekerjakan di sawah. Mungkin karena terlalu diforsir
tenaganya, suatu hari kerbau itu
jatuh tersungkur dan orang-orang
yang melihatnya menganggap
hewan piaraan itu sudah mati.
Namun saat dirawat Saridin, kerbau itu bugar kembali seperti
sedia kala.
Membagi
Dalam peristiwa tersebut,
masalah bangkit dan tegarnya
kembali kerbau Landoh yang sudah mati itu konon karena
Saridin telah memberikan
sebagian umurnya kepada
binatang tersebut. Dengan
demikian, bila suatu saat Saridin
yang bergelar Syeh Jangkung meninggal, kerbau itu juga mati.
Hingga usia Saridin uzur, kerbau
itu masih tetap kuat untuk
membajak di sawah. Ketika Syeh
Jangkung dipanggil menghadap
Yang Kuasa, kerbau tersebut harus disembelih. Yang aneh,
meski sudah dapat dirobohkan dan
pisau tajam digunakan menggorok
lehernya, ternyata tidak mempan.
Bahkan, kerbau itu bisa kembali
berdiri. Kejadian aneh itu membuat Momok memberikan
senjata peninggalan Branjung.
Dengan senjata itu, leher kerbau
itu bisa dipotong, kemudian
dagingnya diberikan kepada para
pelayat. Kebiasan membagi-bagi daging
kerbau kepada para pelayat untuk
daerah Pati selatan, termasuk
Kayen, dan sekitarnya hingga 1970
memang masih terjadi. Lama-
kelamaan kebiasaan keluarga orang yang meninggal dengan
menyembelih kerbau hilang.
Kembali ke kerbau Landoh yang
telah disembelih saat Syeh
Jangkung meninggal. Lulang (kulit)
binatang itu dibagi-bagikan pula kepada warga. Entah siapa yang
mulai meyakini, kulit kerbau itu
tidak dimasak tapi disimpan
sebagai piandel.
Barangsiapa memiliki lulang
kerbau Landoh, konon orang tersebut tidak mempan dibacok
senjata tajam. Jika kulit kerbau
itu masih lengkap dengan bulunya.
Keyakinan itu barangkali timbul
bermula ketika kerbau Landoh
disembelih, ternyata tidak bisa putus lehernya.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More